Cinta dan Kehidupan
Judul Buku : The Fault in Our Stars
Penulis : John Green
Penerjemah : Ingrid Dwijani Nimpoeno
Editor : Julie Strauss-Gabel
Penerbit : Dutton Books & Qanita (Mizan Group)
Tebal : 313 halaman (versi asli) & 424 halaman (versi terjemahan ISBN : 9786021637395
Buku The Fault in Our Stars ini merupakan buku karangan John Green dan telah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Ingrid Dwijani Nimpoeno. Buku ini pernah didaulat sebagai salah satu Best Seller Book by New York Times dan buku ini merupakan hasil karya keenam dari Sang Pencipta (John Green). Buku yang telah berhasil “menghancurkan” hati banyak orang di seluruh dunia ini menceritakan kisah Hazel Grace Lancaster (gadis 16 tahun penderita kanker tiroid stadium IV) yang bertemu dengan Augustus Waters (laki-laki 17 tahun yang pernah menderita kanker osteosarkoma sehingga kehilangan salah satu kakinya) saat mengikuti grup penyemangat bagi penderita kanker. Hazel disebut-sebut sebagai ‘keajaiban’ oleh para dokter karena dia termasuk sebagai 30 persen orang yang berhasil menggunakan Phalanxifor, obat yang molekulnya dibuat khusus untuk menempelkan diri kepada tumor dan memperlambat pertumbuhan dan pelan-pelan mengecilkan tumor. Pertemuan tersebut menjadi awal dari cerita yang mengangkat tema kisah cinta remaja ini. Dari sudut pandang seorang Hazel, John Green mampu menyampaikan makna buku ini kepada pembaca dengan sangat baik. Augustus Waters dalam novel ini berperan tidak seperti pemeran utama pria yang biasa bayangkan. Ia bukanlah pria populer yang sempurna dengan banyak gadis cantik di sekelilingnya. Namun Augustus Waters tahu bagaimana memperlakukan gadis yang dicintainya. Ia membuatnya tertawa, memujinya, dan yang terpenting; ia selalu ada untuknya. Ia benar-benar seperti pria yang diimpikan semua gadis, bukan? Tentu saja, karena dirinya bisa membuat seorang gadis seperti Hazel Grace jatuh hati padanya. Awalnya, kita dibuat hanyut ke dalam kisah cinta Augustus dan Hazel yang terlihat sempurna dan menyenangkan hingga akhirnya sesuatu yang buruk terjadi. Augustus Waters sosok yang terlihat kuat, ceria, dan mandiri kenyataannya adalah tokoh yang paling menderita di cerita ini. Kita memang tidak menyadarinya di awal cerita, namun di penghujung cerita kita akan berpendapat bahwa Augustus-lah yang sebenarnya paling membutuhkan seseorang di sisinya lebih daripada siapapun, bahkan melebihi Hazel sang tokoh utama. Augustus Waters diawal pertemuannya dengan Hazel Grace sempat mengucapkan sebuah metafora “Kau letakkan benda pembunuh itu di antara gigimu tapi kau tidak memberinya kekuatan untuk membunuhmu” Dari sinilah kita bisa tahu bahwa ia adalah seorang remaja laki-laki yang sedang berjuang keras melawan penyakit kanker yang tiba-tiba menyerangnya lagi namun masih dapat melihat hal-hal positif dalam situasi apapun. Augustus Waters mengajarkan kita untuk tidak memberikan kesempatan pada takdir untuk membuat kita putus asa. Ia tahu bahwa seburuk apapun hidupnya, masih ada hal-hal baik di dunia ini yang bisa ia nikmati. Ia hanya harus membuka pikirannya, memikirkan hal yang positif, dan memberanikan dirinya untuk menghadapi segala masalah termasuk menghadapi kematiannya sendiri. Augustus Waters memang bukan pemeran utama dalam buku ini, tapi kehadirannya dalam dunia Hazel Grace Lancaster seakan mengubah cara pandang Hazel terhadap takdir yang kejam dan juga membuat hari-hari Hazel lebih berwarna. Hal yang terpenting adalah ia mampu menunjukkan bahwa meskipun secara fisik ia jauh dari sempurna, tapi ia adalah sosok yang sempurna bagi Hazel, gadis yang dicintainya. Rasa cintanya tersebut ia ungkapkan dengan usaha keras yang Augustus lakukan untuk bisa mengabulkan keinginan gadis yang disayanginya. Hazel Grace berencana pergi ke Amsterdam untuk bertemu dengan Peter Van Houten seorang penulis sekaligus pengarang buku favoritnya “Kemalangan Luar Biasa”. Tapi Hazel tidak bisa membuat keinginannya terwujud karena dari segi finansial yang tidak cukup karena orang tuanya harus membayar segala perawatan kanker, obat Phalanxifor, dan tabung-tabung oksigen yang harus Hazel bawa kemana-mana untuk membantunya bernafas. Dan sayangnya, dia sudah menukar keinginannya kepada Genie Foundation ketika ia berusia 13 tahun untuk pergi ke Disney World. Singkat cerita, Augustus membawa Hazel pergi berpiknik dengan atribut serba oranye dan membawa roti isi keju belanda dan tomat serta jus jeruk. Hazel yang tidak tahu apa yang terjadi pun akhirnya diberitahu Augustus, bahwa ia telah menukar keinginannya kepada Genie Foundation untuk membawa mereka ke Amsterdam untuk bertemu sang penulis, Peter Van Houten. Mulai saat itulah Hazel sadar akan ketulusan yang diberikan Augustus. Perjalanan mereka ke Amsterdam membuat hubungan mereka makin dekat lagi dan akhirnya meresmikan hubungan mereka. Tapi sayangnya, pertemuan mereka dengan Peter Van Houten tidak berujung manis. Peter berubah menjadi pemabuk dan ketika mereka sampai disana, Peter mencaci-maki Hazel dan Augustus tentang penyakit Hazel. Pertemuan yang menyebalkan itu membuat Lidewij Vliegenthart (asisten Van Houten) berhenti dari pekerjaannya dan mengajak mereka berdua ke rumah Anne Frank tanpa mengajak Van Houten. Beberapa bulan kemudian Hazel dikagetkan dengan berita menyakitkan dari Augustus. Walaupun begitu, mereka tetap menjalani hari-hari mereka dengan penuh kasih sayang seperti biasa hingga Augustus meninggalkan Hazel untuk selamanya. Dengan buku ini pembaca dapat belajar banyak tentang kehidupan bahwa lebih baik kita mempunyai satu orang yang mencintai kita begitu dalam daripada berada di ruangan penuh orang-orang tapi mereka tidak peduli. Belajar memahami beberapa situasi yang tidak bisa kita tangani, kita tidak bisa menanganinya karena itu yang terjadi. Tetapi, kita sendiri yang mempunyai pilihan untuk merespon situasi itu. Juga disaat kita terkadang merasa begitu terjebak dalam situasi kita sendiri, sampai kita tidak melihat apa yang terjadi dengan orang lain. Situasi orang lain terkadang lebih besar dari situasi yang sedang kita hadapi. Hal ini sangat penting untuk memperluas kepedulian dan perhatian kepada mereka juga, terlepas dari apa yang mungkin akan kita lalui saat itu. Buku ini memiliki kelebihan yaitu, dari segi covernya yang sangat menarik dan bisa membangkitkan minatkita untuk membaca novel ini. Dari sisi alur dan ide cerita pula sangat kreatif karena dari membaca novel ini kita juga belajar tentang kehidupan, buku ini cocok untuk dibaca kalangan remaja karena inti cerita yang disampaikan oleh pengarang sangat mendidik dan disampaikan dengan ilustrasi yang hampir sama dengan realita yang ada saat ini. Selain kelebihan, novel ini juga memiliki beberapa kekurangan yaitu dalam segi pemilihan bahasa dan terlalu banyak menggunakan nama latin/istilah dalam kedokteran yang jarang kita ketahuin. Hal ini disebabkan karena The Fault in Our Stars merupakan novel terjemahan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia. Selain itu konten tulisan yang sangat mendominasi di dalam novel ini juga dapat membuat pembaca cepat jenuh, karena tidak ada satu gambar pun yang dapat memberikan ilustrasi tentang kejadian dalam novel.
Dan Hujan Pun Berhenti
Novel karangan Farida Susanty ini bercerita tentang kisah seorang pemuda yang hidup di tengah keluarga yang broken home bernama Leostrada Miyazao. Dia selalu menjadi biang kerok atas kekacauan di sekolah bersama geng-nya, The Bunch of Bastards. Kekerasan fisik dan mental yang dia terima dari kedua orangtuanya, kematian tragis sang pacar, konflik dengan teman se-geng, membuat hidupnya semakin hampa dan pada akhirnya ia tidak lagi mau mempercayai orang – orang terdekatnya dan menganggap semuanya pengkhianat. Pada suatu hari ia bertemu gadis bernama Spizaetus Caerina yang sedang menggantungkan teru teru bozu ( boneka penangkal hujan khas Jepang). Spiza melakukan itu demi melaksanakan niat bunuh diri, sesuai tagline yang tertulis di cover novel. “Kamu mau bunuh diri?” “Ya, asal tidak hujan.” Seperti Leo, Spiza membenci hujan. Hujan mengingatkannya pada peristiwa yang teramat pahit di masa lalu. Kenangan buruk yang menghantuinya dalam mimpi dan membuatnya merasa tak mampu melanjutkan hidup. Persamaan tekanan batin membuat Leo dan Spiza dekat. Setelah remaja pria itu kehilangan Iris untuk selama-lamanya. Anak muda yang sinis dan membenci keluarganya sendiri ini menemukan pelabuhan teduh untuk jiwanya yang gersang. Meski begitu, keberadaan Spiza tak urung melecut persoalan antara Leo dan teman-temannya satu geng. Isi novel ini juga kental sekali dengan suasana jepang, mulai dari latar belakang keluarga konglomerat Miyazao, unsur budaya dalam teru teru bozu, bahasa Jepang yang sesekali dipergunakan, sampai keinginan beberapa karakter di dalamnya untuk bunuh diri. Bahkan dalam beberapa situasi digunakan Bahasa Jepang sebagai bahasa tokoh utama percakapan dengan anggota keluarga. Semua hal ini memberi pembaca pengetahuan lebih tentang Jepang karena disediakan catatan – catatan kaki untuk menjelaskan maksud dari percakapan dengan Bahasa Jepang. Penulis menghadirkan beragam karakter yang tidak terpaku antara baik dan buruk. Seperti Tyo, musuh geng Leo, bahkan menyadari bahwa dirinya tidak mempunyai teman. Bahkan kematian pacar Leo yang tragis justru menguak sebuah rahasia besar yang membuat Leo mengakhiri ratapannya dan mencoba untuk mensyukuri hidup. Untuk keseluruhan isi cerita dari novel ini lebih banyak mengandung pemikiran yang mendalam mengenai kerasnya hidup sehingga membuat seseorang memutuskan untuk bunuh diri. Dalam novel ini juga banyak bertaburan umpatan, caci maki, kekerasan, kemarahan, kedengkian, dan keputus asaan. Sebenarnya novel ini tidak baik dibaca oleh anak dibawah umur dan kurang tepat juga jika dibaca oleh anda yang menginginkan sebuah hiburan karena novel ini juga butuh keseriusan dalam membacanya. Pembaca dibawa menyelam ke kegelapan kehidupan sang tokoh yang membuat pembaca berdebar – debar. Ini adalah novel yang kesan gelapnya sangat menonjol yang sudah terlihat dari cover yang berwarna hitam dan tagline yang membuat penasaran dengan kata – kata mendalam yaitu bunuh diri. Tidak hanya itu, kesan dark atau gelap juga terlihat dari jalan cerita dan karakter Leo yang keras. Novel ini adalah pilihan yang tepat jika kita menginginkan sebuah bacaan yang sedikit memeras otak namun tetap memiliki makna dan nilai yang mendalam dalam kehidupan. Kesamaan dari dua novel diatas adalah bahwa cinta dalam hidup kita dapat merubah cara pandang kita terhadap kehidupan. Merubah cara kita menjalani hidup yang dulu kita anggap kelabu dan kita anggap tak lagi berarti menjadi lebih berwarna dan lebih berarti.


resensinya menarik :)
BalasHapuskunjungi juga blog saya ya min www.lidyakencana.blogspot.com
BalasHapus